Halaman

Sabtu, 31 Desember 2016

KEBUN BINATANG part 4

Warga Jakarta yang selalu dikenal sebagai kaum individualis, di sini sama sekali tak terbukti. Golongan bawah memang tak bisa disamakan dengan golongan atas. Sebagai masyarakat yang hidup seadanya di Jakarta tak bisa satu sama lain saling mengasingkan diri, bersikap mementingkan diri sendiri. Aku menikmati suasana kebersamaan di sini, sekalipun antara penghuni kost dan warga ada hal-hal yang membatasi. Selalu ada senyum dan sedikit keramahan. Di waktu-waktu sibuk di kamar mandi mereka saling berbagi sabun cuci dan saling memompakan air. Di waktu senggang para ibu dan istri berkumpul di teras sempit salah satu rumah tetangga. Tiap kali terjadi kecerobohan dan kesalahan kecil selalu terdengar kata maaf, kemudian dibalas dengan kata tidak apa-apa. Keributan paling lazim di sini paling-paling pertengkaran suami istri ataupun kerewelan anak-anak.
Aku pikir di sini memang ada aturan tak tertulis bahwa apabila antar warga ada sedikit hal-hal yang tidak disukai atau sedikit merugikan ada baiknya dibicarakan di belakang punggung.
Pagi merupakan saat-saat ramai di kamar mandi, tepat begitu adzan shubuh dikumandangkan, bahkan sebelum panggilan shalat itu dilantunkan orang-orang sudah mulai berdatangan ke kamar mandi. Dengan mata setengah terpejam dan malas-malasan mereka menunggu giliran menggunakan kamar mandi tersebut. Tak ada yang berebutan. Siapa-siapa yang datang belakangan, meskipun ia tengah diburu-buru waktu, ia harus menunggu, menghargai orang yang datang lebih awal, kecuali ia minta izin dan orang yang mengantri lebih awal mengizinkannya.
Aku tak habis pikir mengapa warga sini masih bersedia menggunakan pompa air manual, rela mengayunkan tangan naik turun hingga telapak tangan licin dan bahu pegal-pegal. Padahal mereka bisa patungan membeli pompa air listrik dan bisa menghemat waktu mengantri.  Aku sempat hendak menanyakan hal itu. Tapi saat aku ingat dan melihat orang-orang terbiasa memompa air dengan kedua tangan, muncul keenggananku seakan-akan itu pertanyaan yang tak perlu dipertanyakan. Barangkali, sebagai seorang penghuni kost yang datang kemari hanya sekedar berteduh, aku takut mereka tersinggung, meski aku sendiri tak tahu dimana letak kesensitifannnya.
Tentu saja yang paling menyebalkan, dalam urusan kamar mandi, adalah perempuan; para ibu dan remaja gadis. Mereka tak peduli dengan antrian, seolah-olah mereka penguasa tempat tersebut. Para ibu biasanya bangun lebih awal, kemudian sebelum yang lainnya berdatangan, ia buru-buru memompa air hingga ember di dalam penuh. Setelah terisi penuh, meski ada beberapa orang tengah menunggu giliran, ia malah lari-lari menuju rumahnya, membangunkan anaknya. Pagi-pagi begini pastilah butuh usaha besar untuk menyuruh anaknya mandi dan berangkat sekolah. Setelah anaknya selesai mandi, ia tak perlu repot-repot lagi menunggu. Ia langsung masuk kamar mandi dan menghabiskan sisa air mandi anaknya. Kami menyebut itu sabotase, sementara kami hanya bisa mendumel dalam hati menyaksikan sabotase-sabotase semacam itu terus terjadi.
Untuk tipe kedua ini, sebagai lelaki sejati, seharusnya aku bisa mengalah dan memakluminya; anak gadis. Aku tak tahu mengapa para anak gadis betah berlama-lama di kamar mandi. Memang mereka selalu punya banyak ritual dan proses untuk masalah kecantikan, dan kamar mandi merupakan tempat untuk memulai proses tersebut. Sekali-kali aku ingin mengintip mereka, tapi karena suasana kamar mandi selalu ramai, dan sekalipun dalam keadaan kosong pasti selalu ada mata yang melihat, aku tak pernah punya kesempatan untuk melakukan itu.
Kadang ketika kandung kemihku penuh dan aku malas turun ke kamar mandi dan mengantri, aku selalu kencing di dalam botol, kemudian aku buang di atas atap seng. Kecuali pada malam hari, saat orang-orang tertidur, aku tak perlu menampungnya dahulu dalam botol, langsung saja aku julurkan penisku ke atas atap seng. Sialnya, kadang penghuni rumah di bawah kamar kostku tiba-tiba keluar, mengira ketukan di atap seng itu sebagai suara hujan turun. Cepat aku menahan kencingku, menutup resleting, bersembunyi di balik pintu, dan berharap orang itu tak sempat melihat tetesan air kencingku.  
            Keesokan harinya aku terlambat bangun. Biasanya aku mandi pukul enam pagi, karena pada saat itu jam-jam sepi kamar mandi dan anak-anak mulai berangkat sekolah. Kamar mandi ramai kembali sejam kemudian hingga pukul sepuluh pagi. Dengan terburu-buru aku segera turun dari kamar kost. Di depan kamar mandi ada beberapa orang tengah duduk mengantri dan beberapa ibu rumah tangga tengah mencuci baju. Karena tak mungkin aku menunggu sampai orang-orang itu selesai mandi, aku memutuskan kembali naik ke kamar kost. Aku langsung ganti pakaian. Tanpa cuci muka dan gosok gigi, hanya menggunakan deodorant, aku berangkat kerja.

            Memang hampir semua perihal kehidupan di lingkungan semacam ini sama sekali tak menyenangkan, tapi benar-benar menguji kesabaranmu, menuntutmu pandai-pandai mengatur waktu dan menghargainya. Saat mengantri mandi aku dapat mengambil satu pelajaran hebat bahwa ketika bertemu dan berurusan dengan ibu-ibu, dimanapun kita berada, wajib kita berwaspada, karena menghadapi mereka tak cukup dengan bersabar. Sekaligus juga aku mengerti, meskipun keadaan hidupku tidak mengikuti kemajuan Jakarta, itu bukanlan sesuatu yang merugikan.
******

            Kebersamaan warga sini juga terjalin saat merayakan hari-hari kebesaran tertentu atau salah seorang warga atau keluarga mengadakan acara-acara tertentu.
            Sebulan menjelang hari raya Idul Adha, ketika hendak berangkat kerja para ibu dan beberapa gadis duduk berbaris di lorong-lorong. Mereka tengah mengupas kentang dan memotong sayuran. Daging dan ikan dicuci di kamar mandi sehingga lantainya menjadi licin dan amis. Mereka bekerja sama membantu salah satu warga yang hendak mengadakan pesta pernikahan-----menjelang hari raya memang musimnya orang-orang kawin dan surat undangan kerap membuat orang menggerutu karena pengeluaran mereka bertambah. Di lorong-lorong sempit itu mereka tertawa dan membicarakan banyak hal. Aku terpaksa melewati lorong tersebut dan para ibu segera menggeser posisi duduk mereka, juga bak-bak berisi sayuran dan daging ke tepi. Lorong itu menjadi becek dan anyir seolah-olah aku tengah berjalan di dalam pasar.
            Pulang kerja jalan menuju kamar kost ditutup palang bambu dan lalu lintas kendaraan dialihkan ke arah jalan lain. Beberapa meter  dari palang bambu itu telah berdiri tenda dan panggung hiburan. Para tamu berdatangan, lalu pergi setelah makan dan menyerahkan selembar amplop. Seorang penyanyi mendendangkan sebuah lagu dangdut sambil bergoyang-goyang memperlihatkan lekuk-lekuk tubuhnya, menggoda para lelaki yang bersedia menyelipkan rupiah ke balik dadanya. Anak-anak berlari kesana-kemari seakan-akan jalan yang diblokir ini tiba-tiba menjelma menjadi lapangan sepak bola. Pesta pernikahan itu cukup meriah meski diadakan di atas lahan terbatas. Sambil menundukkan muka dan membungkuk aku melewati panggung hiburan tersebut
            Seminggu menjelang hari raya Idul Adha di depan mushalla, sudah terikat hewan kurban. Seekor sapi dan beberapa ekor kambing. Hewan itu kurus-kurus. Terik matahari yang garang seolah bukan masalah. Mereka santai mengunyah-ngunyah dedaunan di sekitar mereka sambil buang air. Mereka asyik bermalas-malasan seakan tak ada satu masalah apapun. Tapi mereka juga tampak lesu seolah-olah mereka tahu tak lama lagi ajal bakal menjemput.
             Tak seperti hari-hari lainnya, pulang kerja aku duduk dulu di depan teras mushalla. Memandangi hewan-hewan kurban itu membangkitkan rasa empatiku. Mereka adalah hewan ternak yang tak membutuhkan kemandirian. Meski mereka tak meminta, segala kebutuhan mereka dicukupi manusia. Urusan makan dan minum tak perlu dirisaukan. Kawin pun tinggal kawin. Tapi sejak awal hidup mereka telah divonis; menjadi bahan konsumsi manusia. Aku berpikir kira-kira bagaimana perasaannya menjelang hari kematiannya.
             Seperti halnya hewan-hewan kurban itu, aku juga tak perlu merisaukan makan dan minumku. Tapi bekerja di sini membuat waktuku terasa sempit, dengan gaji secukup buat kebutuhan dasar semata, aku merasa hidupku telah tervonis; aku tak punya keleluasaan. Aku bak mempertaruhkan sisi kemanusiaanku, bersedia menjadi hewan kurban demi keuntungan segelintir pihak. Kebebasan langkah kakiku hanya berjarak beberapa ratus meter saja----jarak dari kamar kost hingga restoran.
            Aku pikir beginilah kira-kira hidup berada dalam kebun binatang. Tiap hari, hari demi hari, kau hanya berkeliaran, berlari-lari dari satu sudut ke sudut itu juga; bolak-balik. Dalam kemonotonan hidup tidur menjadi sesuatu yang menakjubkan, menjadi sebuah ritual untuk melupakan sejenak aneka kejenuhan. Tak pernah menempuh jarak pasti atau menuju suatu tempat. Sementara energi dari makanan yang kau makan dipergunakan hanya untuk menjadikan diri sebagai tontonan. Hidup tak lagi bergantung pada Tuhan, tapi pada mereka yang punya banyak uang.
******

            Ini salah satu akibat hilang keleluasaan; hari raya Idul Adha ini aku tak bisa libur. Karena Idul Adha tak sebesar hari raya Lebaran, aku tak ikut shalat Id di masjid. Aku malas bangun pagi. Ketika orang-orang pulang dari masjid, para penjagal tengah mengasah golok, dan anak-anak merasa tak sabar melihat hewan-hewan kurban disembelih, aku malah baru bangun dan pergi mandi. Aku pikir bakal ada mulut comel yang bertanya mengapa di hari raya ini aku tak ikut suka cita, tapi ternyata warga sini mengambil sikap tak peduli. Setelah berpakaian sesaat aku memandangi seisi kamarku kemudian berangkat kerja seperti biasa, melakukan kesibukan-kesibukan yang tak memiliki nilai istimewa.
            Sorenya, dengan langkah kaki penuh kehampaan, terdapat ceceran darah mengering di atas tanah serta bekas lubang sempit tempat menampung darah hewan kurban telah ditimbun kembali. Kulit-kulit hewan kurban disandarkan di depan dinding mushalla. Ratusan lalat berterbangan kesana kemari, menghinggapi titik-titik yang mengeluarkan bau anyir daging dan darah. Sebelum tengah hari hewan-hewan itu pasti telah disembelih, untuk kemudian dikuliti, dipotong-potong, dan dibagikan kepada warga sekitar.
            Di kamar kost aku langsung lemparkan tas ransel ke pojok kamar dan membuka baju. Aku duduk di muka pintu kamar yang terbuka, membiarkan angin sore masuk ke dalam, untuk mengurangi rasa gerah dan mengeringkan keringat badan..
Saat aku pikir hari raya ini bakal menyakitkan, bahwa paling-paling hanya bisa memandangi orang-orang sibuk mengipasi bara panggangan, membolak-balik tusuk sate, kemudian menyantapnya, tiba-tiba Bu Warni mendatangi kamar kost-ku. Ia membawa sepiring gulai kambing dengan kuah minyak berkilau-kilau. Bumbu rempahnya semakin membangkitkan gelora perut dan lidah. “Kalau kurang minta lagi saja sama Bu Susi. Dia panitia daging hewan kurbannya.”
Bu Warni juga menjelaskan bahwa daging kurban tidak dibagikan dalam keadaan mentah melainkan dalam keadaan masak. Para ibu di lingkungan ini yang memasaknya bersama-sama. Seluruh penghuni pemukiman ini, tak terkecuali para penghuni kost juga mendapat jatah. Pikiranku tadi yang hanya bisa menikmati kesesakan asap hasil pembakaran sate terobati. Untuk sekian lamanya tinggal sebagai anak kost, dimana nasi warteg merupakan makanan mewah, akhirnya aku dapat mencicipi gulai kambing.

Rabu, 28 Desember 2016

KEBUN BINATANG part 3; Suaka Baru

            Terletak di belakang Senayan City, pertigaan Simprug cukup ramai. Gerobak-gerobak kaki lima berjejer di pinggiran pertigaan tersebut. Begitu pula warteg dan warung-warung kecil. Di waktu-waktu ramai kemacetan tak terhindarkan. Para pedagang kaki lima kebanjiran pembeli, mobil-mobil berbaris, puluhan bahkan ratusan pengemudi motor mengintip-intip mencari celah jalan untuk mendahului, orang-orang yang menyeberang kelimpungan. Entah pengemudi kendaraan, pedagang kaki lima, ataupun pejalan kaki seperti saling berebut tempat, saling tabrak dan senggol, berusaha mendominasi jalanan. Pertigaan Simprug menjelma menjadi pasar; acak-acakkan.
            Di antara jalan-jalan pertigaan Simprug berdiri sebuah bangunan kumuh. Tak seperti gedung apartemen atau rusun yang dibangun dengan disusun ke atas, bangunan kumuh ini didirikan dengan cara ditumpuk-tumpuk seperti pakaian kotor. Papan, kayu, dan seng menjadi bahan utama penopang bangunan tersebut. Sisanya, hanya sebagian kecilnya, menggunakan tembok dan semen. Apabila suatu ketika Jakarta dilanda gempa dengan kekuatan sekian skala richter, bisa jadi bangunan rongsok di pertigaan Simprug ini merupakan salah satu bangunan tahan gempa. Memang digoyang sedikit saja pasti roboh, tapi setidaknya mudah dibangun kembali. Aku pikir itulah yang disebut bangunan tahan gempa; sekali roboh tak perlu mengeluarkan biaya besar untuk membangunnya lagi.
            Selain itu bangunan semacam ini takkan banyak menimbulkan korban jiwa. Sekalipun pada akhirnya, saat gempa itu, ada orang-orang yang tak sempat melarikan diri, terjebak, lantas tertindih material-material bangunan, takkan terlalu sulit menolong mereka, menyingkirkan puing-puing yang menindihnya itu.
Memasuki bangunan kumuh tersebut, udara terasa pengap, tak ada angin yang bergerak. Sementara sinar matahari hanya mampu menerobos melalui lubang atau celah kecil. Lembab dan menyesakkan. Tikus-tikus sebesar dua kali lipat kepalan tanganku bahkan berkeliaran di siang hari. Lubang-lubang tikus itu tersebar di sepanjang lorong. Sementara di kiri dan kanan lorong-lorong tersebut berderet pintu-pintu triplek. Dibalik pintu-pintu itulah warga, yang didominasi suku Jawa, tinggal. Mereka menyebutnya rumah.
            Berada di tengah kota yang mengalami pembangunan begitu pesat, aku merasa bersalah sekaligus prihatin menyebut bangunan kumuh----rumah-rumah petak---di pertigaan Simprug ini sebagai pemukiman padat penduduk.
            Tiap-tiap rumah warga hanya dipisahkan sekat tipis dari triplek dan antar tetangga dihubungkan dengan lorong-lorong sempit selebar lubang kuburan. Sepertinya rumah setiap keluarga diberi jatah dua kamar; satu lantai bawah dan satu lantai atas. Segala perabotan dan harta benda----kasur, kulkas, lemari, televisi, rak, kompor----didesak-desakkan dalam satu ruangan. Aku tak habis pikir ruangan seluas kandang kerbau bisa memuat banyak barang. Begitu malam turun satu keluarga bisa saling berbagi kasur dan bantal. Cukup mengherankan mereka bisa mengaturnya. Segala kegiatan dan kerepotan rumah tangga bisa dilakukan dalam satu ruangan; nonton televisi, tidur, masak, makan. Benar-benar ruangan serba guna.
            Bagi warga yang letak pintu rumahnya menghadap jalan cukup beruntung. Meski rumah mereka sama-sama sempit, setidaknya tidak sesumpek bagian dalam. Mereka bisa mendapatkan sinar matahari  dan angin lebih banyak. Karena jalan itu kerap dilintasi banyak orang dan kendaraan, mereka bisa membuka warung-kecil-kecilan atau menyewakan teras rumahnya yang sempit sebagai parkiran motor.
            Aku sendiri, nyata-nyatanya, kini menjadi bagian dari warga sini. Terhimpit-himpit di antara keriuhan dan kesibukan warga Simprug. Tapi kamar kost ini hanya aku gunakan untuk tempat tidur belaka.
            Bu Warni, induk semangku, tergopoh-gopoh menunjukkan kamar kost yang berada di atas lantai rumahnya. Ia bertubuh kurus, agak bungkuk, dan berkulit kendur. Ia agak kesulitan sewaktu menaiki tangga kayu seolah-olah tengah mendaki gunung dengan kemiringan yang cukup terjal. Ia mempersilahkanku untuk melihat-lihat. Aku mengangguk-ngangguk. Dengan hati-hati aku melangkah masuk, takut lantai kamar kost ini tiba-tiba roboh ke bawah. Kemudian aku menekan-nekan telapak kakiku ke atas lantai tersebut, sekedar memastikan lantai ini benar-benar cukup kuat menahan bobot badanku.
            Bu Warni menyebutkan harga sewa per bulan kamar ini setelah aku menanyakannya. Ia tampak agak ragu menyebutkan harga itu seakan-akan ia belum menentukan harga pastinya. Dari sorot matanya terlihat ia takut aku batal tinggal di sini karena harga yang terlampau mahal, tapi ia punya alasan kuat mematok harga sebesar itu. Aku mencoba menawar-nawar harga. “Itu sudah harga standar di sini,” ucapnya membela diri dengan hati-hati agar aku tak tersinggung.
            Aku sendiri tak terlalu heran kamar sekelas kandang kambing ini disewakan dengan harga semahal itu. Dibandingkan kamar kontrakan di Bogor aku seperti berusaha membandingkan hotel bintang lima dengan rumah susun. Pak Imron sempat bilang padaku bahwa di Jakarta ini punya tanah seluas kuburan saja bisa dijadikan sumber penghasilan. “Bahkan trotoar dan pinggiran jalan umum pun bisa dijadikan tempat parkir motor,” sambungnya tentang betapa semuanya dapat dimanfaatkan menjadi uang di Jakarta ini. Aku sendiri sudah melihat buktinya.
            “Apakah kamar kost ini tidak difasilitasi apa-apa?” kataku melihat tak ada satupun perabotan yang dapat aku gunakan.
            Bu Warni tersenyum was-was. “Tentu. Nanti ibu kasih tikar dan bantal.”
            “Hanya itu?” tuntutku.
            “Ya,” tiba-tiba ia pasrah, sambil memaksakan diri tertawa, berharap aku menganggapnya lucu dan memakluminya bahwa beginilah Jakarta. “Kipas angin dan lemari pakaian kau bawa sendiri.”
            “Bagaimana dengan kamar mandinya?”
Bu Warni mengajakku kesana. Kamar mandi itu memiliki dua pintu kamar dengan ubin berwarna coklat. Bagian pojok bawah dinding dibuatkan sebuah lubang sebesar bola tenis. Sebuah pompa air manual berdiri di depan kedua pintu kamar mandi tersebut. Cat biru pompa air itu telah mengelupas di sana sini sehingga karatnya terlihat. Sebuah pipa air berlumut menghubungkan pompa tersebut dengan kamar mandi melalui lubang sebesar bola tenis itu. “Kamar mandi ini digunakan bersama-sama seluruh warga di sini,” lanjutnya menerangkan.
            Aku tak tahu ada berapa kepala manusia yang menghuni bangunan kumuh ini. Pastinya aku harus mengantri tiap kali menggunakan kamar mandi ini. Aku pikir kamar mandi merupakan area paling sibuk dan ramai di sini.
            Tanpa memikirkan banyak hal atau pertimbangan lainnya aku memberikan uang muka pada Bu Warni. Mungkin sebulan-dua bulan saja aku di sini. Apabila aku menemukan tempat yang lebih baik aku akan pindah.
            Kemudian sambil menghitung uang muka yang aku berikan, Bu Warni bertanya mengenai asalku. Ia tampak lega setelah menerima uang itu. Aku menjawab apa adanya.
            “Sunda?” simpulnya kemudian.
            “Betawi.”
            Ia tersenyum sambil menarik keningnya. “Jawa adalah Jawa. Sunda adalah Sunda. Tapi Betawi seperti Amerika; siapapun bisa jadi.”
******

            Tak pernah terbayangkan sebelumnya aku bakal tinggal di kamar kost semacam ini. Aku sendiri tak cukup punya uang dan pilihan untuk mendapatkan yang lebih baik. Sungguh jauh dari kriteria kamar kost yang diharapkan. Sering aku dapati iklan-iklan kamar kost dengan berbagai fasilitas. Tak hanya kasur, lemari pakaian, kipas angin, AC, layar televisi, bahkan lengkap dengan jaringan wi-fi.  Tentu saja kamar kost yang diiklankan itu dibanderol dengan harga tinggi, bahkan bisa diatas gajiku. Sasarannya memang bukan para pekerja rendahan sepertiku, melainkan para pekerja kantoran. Tapi kalau dihitung-hitung, dilihat dari fasilitas yang diberikan, tentulah menjadi pekerja kantoran biaya tinggalnya bisa lebih murah daripada seorang tukang cuci piring.
Uniknya aku tinggal di sini lebih lama dari yang aku perkirakan. Mula-mula aku tidak betah. Aku tak pernah bisa tidur nyenyak. Tidur hanya beralaskan tikar tipis itu soal biasa. Persoalan utamanya tikus-tikus sebesar anak kucing kerap melintas bahkan berkejar-kejaran di depanku. Mereka melahap apa saja; sabun, odol, minyak kayu putih, balsem, kaus kaki. Kemarin aku mendapati celana dalamku bolong-bolong digerogoti hewan pengerat itu. Kerakusan tikus-tikus itu membuatku berhati-hati menyimpan makanan karena ditinggal sedikit saja, kalau aku sembarangan menyimpan makanan, kamar kost-ku bisa berantakan. Aku selalu terkejut dan merasa terancam tiap kali mendengar suara garukan dari balik dinding, takut tikus-tikus itu menyenggol kakiku dan menggigitnya. Hal demikian tak mustahil terjadi. Salah seorang balita di sini sampai-sampai berdarah karena jari-jarinya digigit tikus dan sehari semalam ia menangis tanpa henti. Karena kejadian itu ketakutannya pada tikus melebihi ketakutan sewajarnya.
            Hal serupa terjadi padaku meski tak sampai berdarah. Tapi kejadian itu hampir-hampir membuatku sakit jiwa.
            Malam itu aku tidur lebih cepat dari biasanya. Aku pergi ke kamar mandi, gosok gigi, dan memompa air empat-lima kali ayunan sambil cuci muka dan kumur-kumur. Karena terlalu lelah kepalaku enggan memikirkan banyak hal. Biasanya aku selalu waspada sebelum mematikan lampu, takut-takut keluarga tikus itu bersembunyi di balik tumpukan baju-baju kotor. Kali ini aku justru langsung mematikan lampu dan membaringkan badan. Meski hanya tidur diatas tikar tipis, rasanya begitu nyaman. Pekerjaan mencuci piring kedengarannya memang sepele dan ringan, tapi benar-benar menyita seluruh tenagaku. Malam ini aku hanya ingin cepat tidur tanpa gangguan sedikitpun dan esok pagi dapat kembali segar.
            Tapi baru setengah jam tidur ada yang menggerayangiku. Rasa geli menjalari kakiku. Pelan-pelan naik ke atas paha. Begitu terkejutnya aku tak kuasa mengendalikan diri. Aku melompat-lompat dan menjerit ketakutan seperti orang kalap. Sampai-sampai lantai kamar kost bergoyang-goyang dan hampir roboh. Untung tak sampai membangunkan orang yang tinggal di bawah kamar kost-ku. Begitu aku menyalakan lampu, seekor tikus jatuh dari balik celanaku dan berlari cepat ke balik dinding. Aku merasa terpukul, tapi cukup lega tikus itu akhirnya lari pontang-panting.  Anehnya, sejak saat itu tikus-tikus itu tak lagi mengganggu tidurku seolah-olah mereka sadar area kamar kost ku sudah tak aman lagi untuk dilewati.
            Semut-semut di sini juga tak kalah mengerikan. Mereka berukuran lebih kecil dan berwarna kemerahan, berbaris di sudut dinding hingga memanjang ke pojok lantai seperti barisan mobil-mobil saat jam-jam sibuk kota Jakarta. Aku tahu bisa semut jenis ini lebih dahsyat daripada semut hitam yang biasa aku temui di pohon rambutan atau jambu. Untuk menghalau gerombolan semut itu aku membeli sekotak kapur khusus di mini market dekat pompa bensin. Aku coretkan kapur itu diatas dinding, lantai, dan sudut-sudut yang biasa dilewatinya. Tapi semut-semut itu tak bisa benar-benar lenyap.
            Pada suatu pagi selepas mandi dan handukan tiba-tiba sekujur tubuhku diserang rasa gatal. Aku menggaruk-garuknya hingga aku berputar-putar, seperti orang kerasukan. Makin digaruk kulitku menjadi kemerahan dan bentol-bentol. Semut-semut itu berhasil menyusup ke dalam handukku dan balas dendam menyerangku. Tapi semut-semut itu ikut mati begitu berhasil menggigit kulitku. Terpaksa aku membasuh kembali badanku, tapi itu tak cukup. Selama beberapa jam aku mesti menahan rasa panas dan gatal-gatal.
            Yang membuatku cukup nyaman adalah aku tak perlu membeli obat nyamuk. Nyamuk di kamarku tidak banyak dan tidak terlalu mengganggu, bahkan dengungannya pun jarang terdengar di telinga.
            Makin hari aku mulai mendapati diri ini terasa begitu konyol dan lucu. Malam tidur di atas tikar yang membikin punggung dan leher pegal-pegal. Pakaian bersih dan kotor saling bercampur di pojok kamar. Makan seadanya kecuali baru gajian. Pagi-pagi sekali aku mengantri mandi bersama warga lainnya, memompa air selama kurang lebih sepuluh menit hingga ember di dalam penuh, kadang-kadang aku mengisi setengahnya saja, dan mandi cepat-cepat karena di tunggu oleh banyak orang. Dengan memompa air tiap kali mandi dan mencuci baju otot tanganku makin terlatih dan kuat. Seiring waktu berjalan aku mulai tahu saat-saat kamar mandi sepi dan ramai. Di waktu-waktu sepilah aku mulai menggunakan kamar mandi. Punggung dan leherku juga tak lagi merasa pegal-pegal.
            Berangkat kerja, begitu keluar pintu kamar dan memandangi rumah-rumah berpagar tinggi dan julangan gedung-gedung kadang aku merasa seperti tinggal dalam sebuah peternakan besar. Setidak-tidaknya aku tak perlu merasa iri dengan orang-orang bermobil. Dari kost aku hanya cukup berjalan kaki lima belas menit menuju tempat kerja.

            Di saat bekerja di dapur restoran aku merasa bertambah konyol. Aku terus-terusan mencuci dan berlari-lari menuruti perintah ini dan itu. Jari-jari tanganku keriput karena tak pernah jauh dari air dan sabun. Sungguh ini bukanlah kehidupan sepatutnya, setidak-tidaknya tak sesuai dengan yang aku damba-dambakan. Saat istirahat tiba, untuk pertama kalinya, iseng-iseng aku mengelilingi mall Senayan City, naik turun tangga berjalan, dan memperhatikan setiap orang yang aku papasi. Para pengunjung mall selalu terlihat dalam penampilan terbaiknya; tampan, rapi, dan wangi. Sementara aku begitu kumal, mengenakan sepatu bolong dan seragam basah karena terciprat air cucian. Aku ingin menertawai diri sendiri; tinggal di kota berjuluk metropolitan, tapi gaya hidupku terlambat selangkah dua langkah dari adab budaya modern.

Senin, 26 Desember 2016

KEBUN BINATANG part 2; Tertipu Sistem

            Kepada kondektur bus aku minta diturunkan tepat di depan Ratu Plaza. Pelan-pelan bus bergerak ke pinggir. Sebelum aku turun, kondektur menyembulkan kepalanya keluar jendela bus, memastikan begitu ia membuka pintu tak ada kendaraan atau orang lewat di dekat bus. Setelah dirasa cukup aman, ia mempersilahkanku turun.
Agak lega akhirnya aku dapat memijakkan kaki di atas permukaan aspal jalan. Selama berada dalam badan bus aku seperti ditimpa gempa kecil-kecilan. Kaki dan badanku berayun-ayun bak sebatang alang-alang yang goyah ditiup angin sore. Bahkan hampir-hampir badan dan jantungku terjatuh ketika bus bergerak atau mengerem mendadak. Beruntung aku dapat tempat duduk setelah beberapa penumpang turun di beberapa titik pemberhentian. Barangkali karena lelah berdiri dan udara AC yang terlampau dingin seperti hembusan angin gunung, aku mengantuk. Aku menguap sekali dan mencoba menahannya. Aku takut terlihat konyol dalam keadaan tidur. Orang-orang yang terbiasa menggunakan kamera gawainya bisa saja berlaku jahil. Mereka memotretku, lantas menyebarkan hasil jepretannya melalui media sosial. Di era digital ini tidur di muka umum dapat menjadi sebuah aib.
Dan apapun yang dapat menjadi aib seseorang adalah hiburan paling seru ditengah kebosanan rutinitas.
“Senayan City?” tanyaku begitu berpapasan dengan seorang perempuan Jakarta. Ia berjalan terlalu terburu-buru. Kelihatannya ia terlambat. Ia benar-benar merasa terganggu saat aku tiba-tiba menghadangnya. Mau tak mau ia meladeniku. Dengan perasaan enggan ia menunjuk ke arah belakang gedung Panin Bank. Cepat-cepat aku ucapkan terima kasih dengan nada suara penuh dosa karena telah menggangu dan memperlambat sedikit langkahnya. Barang sesaat aku memperhatikan perempuan itu melewati pagar pintu masuk halte busway. Ia tampak gelisah menunggu bus datang. Begitu bus datang ia seperti beradu kecepatan bersama penumpang lainnya masuk ke dalam bus.
Di Jakarta ini memang waktu berjalan terasa lebih cepat dari biasanya. Aku tahu persis bahwa waktu tak memiliki daya toleransi. Sedikit kebaikan waktu hanyalah menyisakan kenangan. Di kala begitu banyak persaingan dan perkembangan tak boleh ada satu detikpun waktu terbuang. Sekalinya ada waktu terbuang, walau itu kurang dari sedetik, hukumannya selalu senantiasa; tertinggal dan terbelakang.
Tak mengherankan jalanan, trotoar, ataupun halte-halte busway seperti arena berlari. Orang-orang teriak-teriak dan mondar-mandir kebingungan.
Aku sendiri mulai diburu-buru waktu. Tak lucu apabila hari pertama kerja datang terlambat. Karena Senayan City berlokasi di belakang Jalan Sudirman, aku terpaksa berjalan memutar mengelilingi beberapa gedung. Begitu tiba di depan gedung yang aku maksud, sepasang satpam yang berdiri penuh rasa bosan di depan pintu masuk langsung menyergap langkahku.
Ia menanyakan ID card. Aku menjelaskan bahwa aku baru masuk kerja hari ini. Jadi aku belum memiliki kartu yang dimintanya itu. Ia tak mau mengerti. Ia malah meminta surat pengantar perusahaan yang membuktikan bahwa aku memang pekerja baru di sini. Lagi-lagi aku menggeleng. “Seharusnya kau minta surat pengantar itu pada perusahaanmu,” kata satpam itu.
Masalahnya aku tak tahu aturan-aturan keamanan yang diterapkan pengelola gedung ini. Kalau aku tahu keamanan gedung ini dijaga seketat ini pastilah aku akan memintanya. Aku memohon agar diberi sedikit kelonggaran. Satpam penjaga itu malah menyuruhku menunggu hingga Senayan City dibuka pukul sepuluh pagi nanti. Aku melirik jam di layar gawaiku. Lima belas menit lagi Senayan City segera membuka pintu masuknya.
Aku duduk di atas bangku depan gedung ini. Dengan kendala alasan-alasan yang kualami, aku pikir perusahaan tempat aku bekerja bakal memaklumi keterlambatanku. Lagipula keberadaanku hanya tinggal beberapa langkah saja dari tempat aku bekerja sekarang. Paling-paling aku terlambat hanya beberapa menit saja. Aku tak perlu was-was secara berlebihan.
Aku tengadahkan kepala ke atas. Kanopi atap gedung ini begitu tinggi dan besar seakan-akan hendak menyaingi ketinggian dan keluasan langit. Hujan dan panas tampaknya dapat teratasi dengan baik. Tapi aku malah merasa ngeri tiba-tiba kanopi raksasa itu runtuh dan menubrukku.
Sejujurnya aku tak yakin dengan keputusan ini. Meski letak ibukota tak seberapa jauh dari Klapanunggal, tempat aku tinggal, pernah pula melintasi labirin-labirin jalan rayanya, serta sempat tamasya ke beberapa tempat wisata andalannya, tapi itu belum cukup untuk mengenal seluk beluk terdalamnya. Disini aku akan tinggal, bukan sekedar lewat. Sementara persiapanku untuk tinggal disini sangatlah minim. Saking terburu-buru aku tak sempat membawa banyak persediaan. Semua dilakukan serba cepat dan asal-asalan. Yang aku bawa hanya tas ransel berisi beberapa potong celana dan pakaian. Selebihnya aku mengandalkan keberanian yang dikendalikan oleh rasa takut.
Sambil menabah-nabahkan diri, aku sapukan pandangan ke sekeliling. Aku tersenyum lucu dan merasa aneh. Tak tahu kenapa gedung-gedung tinggi yang tumbuh seperti pepohonan tiba-tiba malah mengingatkanku pada rumah nenek di Jalan Lontar Raya, tak jauh dari pusar grosir dan tekstil pasar Tanah Abang. Rumah nenekku bukanlah rumah gedong yang selalu menjadi ciri identitas utama ibukota. Rumah nenek yang berada dalam lingkaran gang-gang sempit hanyalah berupa bangunan kecil berbentuk kubus, sesak dan sempit, dan terhimpit diantara rumah-rumah tetangga. Tapi dalam rumah nenek yang pengap dan sumpek itu aku selalu merasa menjadi orang paling kaya di dunia. Di Klapanunggal, kepada teman-teman mainku, aku membanggakan hal demikian; rumah nenekku bertingkat dan memiliki tangga.
Itu hanya sedikit anggapan dan keyakinan masa kecilku; tak peduli rumah itu besar atau kecil, punya kolam renang atau tidak, asalkan rumah itu tingkat dan bertangga, tentulah itu orang kaya. Maka tak bosan-bosan, selama berada di rumah nenek, aku naik turun tangga. Aku merasa bahagia dapat berdiri di setiap anak tangganya sambil menghitung jumlah anak tangga tersebut. Memang saat kecil kita begitu mudah untuk merasa bahagia.
Kini aku tahu anggapan itu keliru meski tak sepenuhnya salah. Rumah nenekku dibangun tingkat karena keterbatasan ruang dan lahan. Sebagai jalan keluar, untuk mengurangi kesumpekan, rumah dibangun keatas. Tapi aku selalu tahu rumah gedongan pastilah bertingkat, bahkan bertingkat-tingkat. Tidak hanya tingkat ke atas tapi juga ke bawah. Semakin banyak tingkatannya semakin kaya pemilik rumah tersebut. Aku berpikir gedung Senayan City ini, tempat kini aku duduk di bawahnya, memiliki banyak tangga. Apabila kekayaan seseorang dihitung berdasarkan jumlah anak tangga, aku membayangkan kira-kira berapa banyak kekayaaan yang dimiliki oleh pemilik dan pengelola gedung ini.
Seraya pikiranku melayang jauh ke Malaysia; menara kembar Petronas. Lalu ketika aku mulai memikirkan tangga-tangga gedung Burj Khalifa di Dubai tak terasa waktu lima belas menit telah lewat.
********

            Aku segara bangun berdiri. Di dalam mall Senayan City aku sedikit dipusingkan dengan lokasi tempat kerja baruku. Setelah berhasil membaca sebuah tulisan di atas pintu kaca rangkap aku dapat membuang nafas cukup lega. Di sinilah aku akan bekerja; B Restaurant & Bar.
            Seorang perempuan muda terburu-buru menghampiriku. Ia menyambutku rumah. Ia pikir aku seorang pengunjung. Lantas aku menjelaskan maksud kedatanganku. Ia mengerti bahwa aku memang sudah ditunggu sejak tadi. Aku merasa bersalah datang terlambat meski aku tahu itu bukan kesalahanku sepenuhnya. Ia mengantarku menuju dapur restoran dan mempertemukanku dengan Pak Imron.
            Pak Imron tersenyum ramah dan tak masalah aku datang terlambat. Tampaknya ia sudah mengerti betul dengan peraturan-peraturan mall ini. “Kau berpengalaman kerja di dapur restoran?” tanyanya penuh simpatik.
            “Tidak,” ucapku gugup. “Tapi aku pikir setiap orang pasti berpengalaman kalau hanya sekedar mencuci piring.”
            “Tentu,” ia tertawa. “Tapi aku rasa kau belum berpengalaman menggunakan mesin pencuci piring.”
            Ia memberitahuku cara menggunakan dan membersihkan mesin tersebut.
            “Itu gampang,” ucapku tanpa perlu menanyakan hal-hal lainnya.
            Semula aku berpikir mencuci piring adalah pekerjaan sepele. Tak ada artinya. Nyatanya di Jakarta pekerjaan ini cukup melelahkan. Setidak-tidaknya bisa memberikanku penghasilan.
            Pak Imron memberikanku seragam dan celemek. Tak seperti kru dapur lainnya yang mengenakan seragam putih, seragamku berwarna biru tua. Di situ aku mulai mengerti di area dapur ini seorang pencuci piring mewakili kasta terendah.
******

            Sebagai seseorang yang pernah mengecap bangku sekolah 12 tahun lamanya, sungguh mencuci piring adalah pekerjaan konyol yang harus aku lakukan. Setelah berlelah-lelah mengerjakan berbagai tugas dari para guru, menghafal aneka rumus dan keterangan, seperti sebuah keajaiban aku melakukan pekerjaan semacam ini. Tak ada sesuainya dengan pelajaran-pelajaran yang diajarkan di sekolah. Apabila teman-temanku sekolahku tahu ini---tentu saja hanya teman-teman sekolah yang sukses----rasa malu ini sangat menyakitkan.
Memang memiliki ijazah lulusan sekolah tingkat atas tak bisa dibanggakan. Banyak orang yang bekerja diluar jurusan pendidikannya. Pendidikan sekolah sama sekali tak mampu membantu setiap anak didiknya mengenal karakter dirinya sendiri. Setiap nilai yang diperoleh hanya  sebatas biar bisa bebas dari segala kungkungan tugas-tugas dan peraturan sekolah. Dan ujung-ujungnya setelah lulus hanya berkutat bagaimana mendapatkan uang; mencari kerja atau membuka usaha.
Hanya saja dalam persoalanku ini aku malah memikirkan akankah mencuci piring dijadikan bagian dari kurikulum pendidikan? Mungkin tak akan. Sekolah hanya menciptakan generasi-generasi materialistis. Dahulu orang pandai baca dan tulis bisa menjadi dan dianggap ancaman besar. Seorang Solomon Northup saja, budak kulit hitam di Amerika, sampai-sampai merahasiakan kemampuan baca tulisnya. Hanya baca dan tulis. Kini, orang-orang seperti itu tidak berarti apa-apa.
Maka dalam proses adaptasiku di sini pendidikan rumah lebih banyak berperan daripada pendidikan sekolah.
Pukul empat sore kami istirahat. Tak ada makan siang. Patokan waktu istirahat kami adalah menunggu karyawan shift berikutnya masuk. Memang waktu sepanjang itu cukup lama untuk menahan lapar dan lumayan beresiko terkena asam lambung. Beruntung selalu ada makanan sisa di atas piring kotor. Sekedar mengganjal lapar tak segan aku melahapnya.
Pak Imron mengajakku istirahat di kantin. Sebenarnya aku enggan istirahat bersama dengan para kru dapur. Tapi istirahat terpisah pun aku masih asing dengan mall ini. Untuk mengenal lebih banyak sudut mall ini ada baikknya aku ikut ke kantin.
“Kamu lulusan apa?” tanya Pak Imron. Ia menghisap rokoknya dalam-dalam.
“SMA di Cibinong,” jawabku.
Pak Imron mengangguk-ngangguk. “Tidak lanjut?”
“Sekolah cuma ngabisin biaya. Mendingan kerja dapat duit.”
Pak Imron malah tertawa. “Saya sendiri lulusan sekolah tinggi perhotelan. Rendah atau tingginya sekolah sama saja; ujung-ujungnya jadi kacung.”
“Kalau begitu bapak ketipu sistem,” timpal Bana, seorang kru dapur yang duduk tepat di depan Pak Imron. “Saya pikir semua orang yang bersekolah tertipu demikian.”
Dengan segara Bana menjadi pusat perhatian kami.
“Di zaman apapun, sebelum Si Doel lulusan sekolahpun, yang namanya cari kerja itu sulit. Sementara semua orang dituntut berpendidikan setinggi-tingginya. Hasilnya lapangan kerja tetap langka, sementara tenaga ahli makin banyak. Karena banyaknya pengangguran, tenaga ahli bisa dibayar murah. Efeknya keuntungan yang masuk ke kantong pemilik modal makin besar.”
“Dapat teori darimana kamu?”, Pak Imron menimpali dengan nada skeptis.
“Sekolah memang penting, tapi hanya sedikit memberikan pengaruh,” Bana menukas. “Koneksi. Itu yang paling penting dan berpengaruh. Sebagai orang beragama Islam kalian pasti tahu silahturahmi dapat melapangkan rezeki. Itu artinya memperluas koneksi. Dengan koneksi, tanpa bisa baca tulis pun, kalian bisa diangkat jadi manager.”
“Ngelamun lu,” Pak Imron seakan hendak menertawakan Bana. “Mana bisa begitu?”

“Setelah punya koneksi, syaratnya sederhana saja; berani mengacungkan telunjuk lurus-lurus ke arah mata setiap orang.”

Jumat, 23 Desember 2016

KEBUN BINATANG part 1

            Sekali lagi ingat namaku; Darmaji. Ah, siapapula yang bersedia mengingat orang semacam ini. Tapi aku hendak menuliskan sebuah kisah.  Moga-moga saja masih ada sesuatu yang menghibur di dalamnya.
            Perjalanan ini sungguh menyesakkan. Dalam satu jam seharusnya aku sudah tiba di tempat tujuan. Sepagi ini macet seperti merata di seluruh kota. Sudah dua jam lebih baru menempuh separuh perjalanan. Aku telah bersabar sepanjang jalan. Tak terbayangkan aku harus mengalami ini setiap hari. Bisa-bisa sebagian besar hidupku habis di perjalanan. Nyatanya aku melamar kerja di kota ini. Pagi ini, mau tak mau aku harus mengalami arus lalu lintas yang membosankan ini.
            Bus yang aku tumpangi bergerak tersendat-sendat. Beruntung aku tak perlu berdesak-desakkan dengan sesama penumpang lainnya, meski barisan bangku bus terisi semua. Aku berdiri bergelantungan pada pegangan lingkaran besi, berayun-ayun mengikuti irama gerak bus. Karena bus tak terlalu penuh, aku cukup leluasa bergerak tanpa harus menyenggol penumpang lainnya.
            Aku pikir posisiku lebih baik begini. Kalau duduk paling-paling aku hanya memperhatikan wajah bosan para penumpang serta kekhawatiran mereka tiap kali melihat jam karena takut terlambat. Ada pula penumpang yang duduk bersandar sambil bola matanya bergerak kanan kiri, awas, dan tampak tak tahu apa yang mesti diperhatikan, ada yang tertidur lesu, mendengarkan musik dengan mulut tertutup rapat, atau menunduk terpaku pada layar gawainya sambil sesekali tersenyum sendiri. Meski saling berdekatan, satu sama lain saling merasa asing. Tak ada saling tatap ataupun saling sapa. Tak ada pula tukar senyum ataupun obrolan kecil sekadar basa-basi. Sungguh lebih menyenangkan bergaul melalui internet. Dengan orang yang tak pernah bertemu sekalipun kita bisa membicarakan banyak hal. Dalam kenyataan justru orang lebih ketat memasang rambu-rambu.
Melihat penampilan penumpang kebanyakan, aku tahu mereka adalah sekumpulan pegawai kantoran yang bekerja di gedung-gedung tinggi ibukota. Mereka telah mempersiapkan diri baik-baik, berangkat sepagi mungkin, dan begitu pulang langit sudah terlanjur gelap. Mengingat ada banyak waktu dan emosi yang terbuang percuma, benarkah di Jakarta mereka hanya sekadar bekerja dan mencari kemakmuran----lari dari tuntutan hidup dan kembali untuk memenuhinya?
Kalau hanya demikian maksudnya tentu sia-sia para penumpang bus ini menghabiskan waktunya. Dengan waktu sebanyak itu mereka bisa melakukan banyak hal daripada menahan emosi sepanjang perjalanan.
            Dan apa pula tujuanku bekerja di kota ini? Jelas-jelas apa yang aku putuskan dan aku lakukan saat ini bukanlah bagian dari cita-citaku untuk membangun masa depan.
            Ada hal yang tak ingin aku ingat. Aku berharap aku benar-benar mampu melupakannya. Namun aku malah ingat terus. Rasa-rasanya tak ada yang lebih baik selain hilang ingatan. Aku ingin ini tak menjadi kenangan. Sepahit-pahitnya masa lalu kelak bisa ditertawakan tapi hal ini dapat memicu penyesalan seumur hidup. Ini sungguh-sungguh menganiaya. Apabila terlintas-lintas----aku benar-benar tak bisa lepas memikirkannya----kepala ini akan menerima penatnya sementara dada menggenggam dosanya.
Bisikan-bisikan halus terus mengusik isi pikiranku; menuduhku. Aku tahu sebuah penyesalan dapat ditebus dengan memperbaikinya. Aku tahu juga apabila urusannya hanya sebatas dosa mudah saja aku mengambil langkah taubat; sebuah pengakuan. Bagiku perkara ini sangat rumit. Ini semua tentang keterlambatan. Hanya bisa lunas apabila waktu bersedia aku tarik-ulur.
Sebagai lelaki mungkin aku terlalu perasa dan tampaknya aku mesti sedikit menggunakan pikiran. Kemudian alih-alih hendak melupakannya aku malah mengambil langkah menjauh. Dengan kegugupan semacam buronan aku kabur menuju Jakarta.
            Itulah satu-satunya hal yang masih dapat aku pikirkan.
Tentu lebih baik aku lari ke tempat yang lebih jauh daripada Jakarta. Kalau perlu keluar pulau Jawa. Aku harus menyembunyikan diri sedalam-dalamnya. Tapi mengingat dosa yang telah aku perbuat, ke ujung dunia pun keberadaanku bisa terlacak. Aku kabur ke Jakarta karena meyakini ibukota tempat yang tepat untuk orang-orang seperti aku. Ibukota adalah tempat pelarian; lari dari lilitan hutang, himpitan ekonomi, belenggu sosial, kekangan adat, batasan moral, dan aku lari dari kenyataan.
Tiba-tiba pikiran ini menudingku; aku telah menggunakan jatah waktuku hanya untuk melarikan diri dan kelak kembali nanti entah aku hendak melakukan apa. Kenyataan semacam apa sebenarnya yang hendak dibangun oleh seorang pengecut?
Pengecut---- ya, barangkali memang begitulah adanya diriku.
Kembali aku perhatikan penumpang bus dari ujung ke ujung. Adakah diantara mereka juga adalah orang-orang sepertiku yang melarikan diri demi menghindari sesuatu?
            Pelan-pelan bus keluar pintu tol dan memasuki pusat kota. Barisan pepohonan di dalam tol sana digantikan julangan gedung-gedung tinggi. Jakarta tampak begitu sempit dan berisik. Udara terasa padat. Kutengokkan kepalaku memandang keluar melalui kaca bus. Kabut-kabut yang menempel diatasnya telah menguap pelan-pelan. Berupa-rupa kemegahan dan keangkuhan buatan manusia terhampar luas. Tanah-tanah digali, beton-beton ditanam, besi dan baja ditonggakkan, sungai-sungai diluruskan, rumah-rumah digusur, gedung-gedung ditinggikan, jalan-jalan bagaikan labirin, dan tenaga-tenaga rakyat kecil dikuras. Beton, aspal, baja, deru mesin menandakan sebuah puncak teratas evolusi manusia. Segala macam tambang yang terpendam di dasar bumi dinaikkan untuk dibentuk di atas tanah Jakarta. Pembangunan merupakan dominasi tangan manusia terhadap alam. Bukan lagi manusia harus mengikuti keseimbangan alam, sebaliknya alamlah yang mesti mengikuti kehendak manusia. Peristiwa banjir dari tahun ke tahun yang kerap terjadi di kota ini ibarat sebuah perang untuk menentukan siapa yang mestik takluk; manusia atau alam?
            Mengenai kota ini hingga akhirnya menjadi sebuah metropolitan, kira-kira bagaimana wujud Jakarta ratusan bahkan ribuan tahun silam?
            Seperti halnya gagasan Darwin yang kontroversial, aku tahu Jakarta punya teori evolusinya sendiri. Ada sejarah-sejarah yang membentuknya. Begitu pula orang-orang yang tinggal di dalamnya; ada evolusi yang mengarahkan jalan hidupnya. Ada yang menuju puncak, ada pula yang tersingkir. Melalui jalan migrasi menuju Jakarta, evolusiku sendiri tengah aku jalani saat ini juga.
“Jakarta adalah kota kapitalis,” ucap seorang pria yang berdiri tepat disebelahku. Ia mengenakan topinya terlalu bawah, nyaris menutupi sebagian wajahnya, seolah-olah ia menampilkan diri sebagai sosok misterius. Warna kemeja yang dikenakannya luntur. Aku kira ia bukan seorang pegawai kantoran. Penampilannya mirip pengangguran yang sulit cari kerja. “Maka demokrasi tak lain bagian dari bisnis dan bisa dibisniskan, bisa diperjual-belikan. Mungkin guru-guru sekolah mereka dulu juga seorang tukang obat. Begitu pula buku-buku yang mereka baca. Ide-ide mereka tak beda dengan iklan-iklan asuransi ataupun promo-promo iklan pulsa.”
Aku tersihir kata-kata lelaki bertopi itu. Ia menggiringku untuk tak mempercayai keajaiban demokrasi. Ia menyebutkan, karena itu terkait politik, demokrasi itu semacam pergaulan. Lobi-lobi, kampanye, propaganda. Biar bisa keluar sebagai pemenang diperlukan ketenaran, modal besar, dan pandai cuap-cuap. “Itulah tiga hal yang membentuk pergaulan yang lazim disebut demokrasi,” terangnya padaku. “Demokrasi tak lagi bisa disebut kasta rakyat. Siapapun yang mampu memenangkan demokrasi, jadi pejabat dan punya pangkat, ia takkan lagi merasa sebagai rakyat. Ia perlu disanjung dan dipuja. Berkat kekuasaan yang diperolehnya mereka seolah punya mandat untuk menggenggam nasib manusia. Itulah wakil Tuhan karena Tuhan sendiri tak bertanggung jawab atas nasib manusia kecuali takdirnya”.
Kemudian lelaki itu menoleh kearahku dan menatapku dari balik topinya. “Menurutmu sendiri apa arti demokrasi itu? Kebebasan memilih pejabat?”
Sejauh dari yang aku dengar dan aku lihat sistem demokrasi tak jauh beda dengan pemilihan penyanyi baru dalam acara adu bakat di televisi. Sekedar bermain voting-votingan. Hanya soal siapa yang mendapatkan suara terbanyak. Sekalipun dalam acara debat dan kampanye ditunjukkan segala program dan pemikiran para kandidat, tetap saja yang menentukan hasil suara yang diperoleh. Lebih-lebih, dengan segala iming-iming, suara rakyat begitu mudah dicurangi. Iminng-iming itulah isi dari bungkusan kampanye.
Dari lelaki bertopi ini aku juga tambah tahu bahwa demokrasi turut menjadi bagian dari perkembangan evolusi manusia. Lebih besar perannya tinimbang beton, aspal, baja, deru mesin, dan segala macam tambang yang telah dinaikkan keatas permukaan bumi.
Bagiku sendiri politik adalah dunia yang suram, penuh intrik dan rahasia, semacam perang adu taktik dan licik. Politik adalah gambaran asli watak manusia yang selalu menginginkan dominasi dan monopoli. Didalamnya tak jelas bagaimana salah dan benar itu seperti apa.  Salah dan benar mudah saja dipropagandakan menjadi hal yang lain sama sekali, dibolak-balik dan diputar-putar.
Kemudian lelaki bertopi itu menengokku sesaat, mengajakku kembali mendengarkan geraman-geramannya. “Apabila dalam usaha uang dijadikan produk, maka keuntungannya bernilai riba. Apabila dalam iklan-iklan diri dijadikan produk itu namanya lacur. Kira-kira begitulah yang terjadi pada demokrasi masa kini. Semua yang gila jabat dan pangkat pandai memelacurkan diri. Tapi mereka, wajah-wajah dengan senyum manis yang terpasang di tiap spanduk, baliho, poster ataupun reklame, tengah bermain judi. Tak cukup uang, senyum manis, dan biografi teladan yang dijual, juga perlu taktik jitu sekaligus licik. Karena ini judi, kalah dan menangnya mereka, rakyat takkan mendapatkan apa-apa. Buat apa memberikan perhatian pada golongan yang hanya menyumbang suara bisu dari kejauhan.”
Cara lelaki bertopi itu bicara menandakan ia punya dendam yang tak terbalaskan. Begitu ada kemungkinan seseorang dapat diajak bicara, ia tuangkan seluruh rasa kesalnya. Kemudian aku yang duduk disebelahnya, dengan wajah yang terlihat putus asa, dijadikan sasaran. Ia yakin aku akan mendengarkan, seraya ia lepaskan semua bara yang ada dalam dadanya.
Ia turun di depan gedung abu-abu tempat polisi-polisi ibukota berkantor. Ia naikkan topinya. Begitu bus yang aku tumpangi bergerak lagi, dari kejauhan aku dapat melihat sorot matanya. Ada amarah yang teramat deras memancar dari dalam. Aku tak tahu apa yang mendorongnya mendatangi ibukota? Apakah sepertiku, ia juga melarikan diri? Bisa jadi ia datang kemari untuk ikut demontrasi.

Tiba-tiba aku merasa kesesakan dalam dada. Mungkin seperti lelaki bertopi itu, aku merasa kecewa. Ibukota dan masyarakatnya menawarkan banyak pertanyaan. Sementara waktu yang tersedia teramat singkat. Bentuk-bentuk pembangunan yang aku lihat sepanjang perjalanan mengingatkanku bahwa aku kalangan manusia tertinggal. Aku tak membawa pemikiran besar ke kota ini, kecuali sebuah dosa yang menggiringku kemari. Ibukota hanya menawarkan sebuah teori evolusi terbaru; hendak menjadi manusia atau kembali menjadi monyet?

Selasa, 31 Mei 2016

MATA KOLAM: Perempuan Itu Menginap di Kamar Lelaki Impoten ( 3 )

            Kejantananku sebagai laki-laki dipertaruhkan malam tahun baru ini.
           Mata ini benar-benar tak bisa dipuaskan. Semenjak tumbuh menjadi lelaki puber baru kali ini aku mendapatkan kesempatan dahsyat; duduk berhadap-hadapan dengan seorang perempuan. Aku tak bisa membohongi naluriku sendiri. Ia cantik, bening, dan mulus. Di hadapan keindahan ini aku tak tahu bagaimana cara menatapnya. Aku ingin memuaskan sepasang mata ini.
            “Kenapa?”, kata perempuan itu tiba-tiba menatap kearahku.
         Merasa kepergok, cepat-cepat aku menurunkan pandanganku dan mengedipkannya. “Mau teh?”, tawarku agak gugup dan malu.
            “Tentu,” ia mengangguk.
            “Sebentar aku buatkan.”
            Aku menuju dispenser dan menuangkan air panas kedalam gelas. Perempuan itu masih asyik menggosok-gosok rambutnya yang basah dengan selembar handuk kecil. Ia mengenakan kaosku yang tampak longgar dikenakan. Tubuh kurusnya agak tenggelam dibalik kaos itu.
            “Namaku Namira,” ucapnya.
            Sambil mengaduk-aduk teh dalam gelas, aku pun menyebutkan namaku.
          Malam tahun baru kali ini sungguh istimewa; satu insiden diikuti dengan satu anugerah. Dalam keadaan basah kuyup dan gigil, berjalan terseret-seret melewati kerumunan orang-orang, menghindari tatapan dan bisik-bisik mereka, aku berhasil membawa seorang perempuan masuk kedalam kamar kostku. Lalu aku membiarkannya mengeringkan diri dan berganti baju di dalam kamar ini.
           Aku pikir apa yang aku lakukan ini sudah benar. Tak mungkin aku meninggalkannya di tengah kerumunan manusia dan membiarkannya masuk angin. Ini adalah tanggung jawabku dan sudah seharusnya aku berterima kasih.
     Aku sajikan segelas teh hangat itu dihadapannya. Uap teh yang meliuk-liuk di udara menghantarkan aroma sedap ke dalam hidung kami. Aku tahu berdua di dalam kamar dengan seorang pria mungkin membuat Namira takut. Aku harap sikap ramahku ini dapat membuatnya lebih nyaman. Meski akhirnya malah aku yang merasa canggung sendiri.
          “Terima kasih,” senyum Namira malu-malu.
        “Tidak. Seharusnya aku yang berterima kasih. Tanpa kamu mungkin aku sudah mati tenggelam.”
          Kemudian suasana kembali hening. Kami benar-benar berdua di sini. Diantara kami, satu sama lain, saling melirik dan memandang dengan perasaan malu, takut, dan ragu. Kami bagaikan sepasang manusia polos, yang belum mengalami sekalipun hubungan antara laki-laki dan perempuan di malam pengantin mereka.
         Hanya saja aku masih tak habis pikir. Tak mungkin gadis semanis ini datang seorang diri ke pesta tahun baru di pusat kota. Biasanya gadis semacam ini datang bersama pacar atau teman-temannya. Setidaknya bersama keluarga.
       “Apa yang mendorongmu berani terjun ke dalam air di malam tahun baru ini?” tanyaku kemudian.
           “Karena ada seseorang yang perlu ditolong,” jawabnya sederhana. “Seorang lelaki yang tak pandai berenang.”
            “Kau meledekku,” aku tertawa jengkel. “Aku pikir siapapun juga pasti berpikir berulang kali merayakan tahun baru dengan basah-basahan.”
          “Menolong orang tidaklah perlu berpikir,” timpal Namira. “Cukup dengan rasa. Menolong dengan berpikir hanya dilakukan oleh orang-orang yang mengatas-namakan hak asasi manusia. Tak ada keikhlasan. Tak ada ketulusan.”
         Akhirnya dalam keheningan berikutnya kami bisa saling bertatapan lebih dalam. Kami menyelami pancaran sinar mata kami masing-masing. Dalam pertemuanku dengan gadis ini, takdir seperti mengingatkanku; diusia hampir tiga puluh aku perlu seorang perempuan untuk dijadikan sebagai jodoh. Tapi aku tahu ditolak perempuan pasti lebih menyakitkan tinimbang ditolak penerbit atau media.
            Mungkin Namira tak melihat sedikitpun pesona dalam wajahku, akhirnya ia mengedarkan pandangannya ke sisi-sisi ruangan. Aku berharap ia menganggap kamarku bersih dan nyaman. Lalu ia bertanya, “Sudah lama tinggal di sini?”
            “Lumayan,” kemudian dengan sedikit lancang aku bertanya, “Kau punya pacar?”
            Tiba-tiba Namira terbatuk-batuk. “Boleh aku minum tehnya?”
        Dengan sigap aku membantu mengangkat gelas berisi air teh itu dan membiarkan Namira meminumnya sendiri. Aku merasa bersalah bertanya demikian. Aku menimbang-nimbang untuk meminta maaf hingga akhirnya aku urungkan.
            Tiba-tiba Namira bilang padaku, “Boleh malam ini aku menginap?’”
            Rasa-rasanya sepasang telingaku ini salah dengar. Aku terperanjat. Ini sulit aku mengerti. Aku pikir ada sesuatu hal yang mengguncang pikiran perempuan ini. Kalau ia baik-baik saja, ia pasti minta diantarkan pulang segera. Aku melihat sepasang bola matanya yang sendu, yang tampak memohon padaku, menyimpan sebuah kegetiran.
            “Kamu tidak keberatan, kan?”, mintanya lagi.
          Pernah di tempat kostku dulu seorang pria membawa masuk pacarnya ke dalam kamar. Ia kepergok. Tak hanya dimarahi habis-habisan, ia juga langsung diusir oleh induk semangnya. Apabila aku mengalami hal serupa malunya sungguh tak tertanggungkan. Aku betah disini. Jarang-jarang di Jakarta ada tempat kost senyaman tempat tinggal aku sekarang.
            Seharusnya aku menolak, tapi aku malah menggeleng; aku tidak keberatan. Pertimbanganku sederhana saja; induk semangku tak ada di sini. Ia merayakan tahun baru di Bogor bersama anak-cucunya. Tapi melihat kecantikan wajah dan kemulusan kulit tubuhnya, aku tahu ada alasan lain aku mengizinkannya menginap di kamarku.
            “Terima kasih,” ucap Namira malu-malu. “Maaf, aku merepotkan.”
         Seperti orang yang tak bisa berpikir apa-apa lagi, aku bilang, “Tidak apa-apa. Aku harap kamarku tidak bikin gatal-gatal.”
            Seraya aku keluar dan menutup pintu pelan-pelan. Aku mengelus dada dan menghembuskan nafas lega.
            Diam-diam, melalui lubang kunci pintu, aku mengintip ke dalam kamar. Namira mengibaskan rambut panjangnya ke samping, kemudian ia meliuk-liukkan kepalanya. Gerak-geriknya sungguh memukau dan menggairahkan. Rasanya aku baru berhasil menangkap hewan buruan, menguncinya rapat-rapat dalam kandang, lalu tinggal sesuka hatiku memperlakukan hewan buruan itu bagaimana. Begitu ereksiku memuncak, tak tahan aku ingin menerkamnya.
            Tiba-tiba sebuah tangan menepuk-nepuk bahuku. Karena kaget, refleks aku berbalik. Setelah berpisah menonton panggung hiburan, akhirnya Kris kembali berada dihadapanku. Tegap-tegap aku berdiri menjaga pintu. Jantungku berdebar-debar. Kehadiran induk semang telah aku pertimbangkan, tapi Kris luput dari ingatanku. Sorot mataku waspada menghadapinya.
            “Kenapa?” tanyanya curiga.
            “Tidak apa-apa,” jawabku gugup, sulit menguasai diri sendiri.
            Kris memicingkan matanya. Ia penasaran. Ia mendorong-dorongku, memaksaku menyingkir, dan berusaha menjangkau gagang pintu. Aku bertahan. Ternyata Kris lebih kuat. Ia berhasil mendorongku jatuh, lalu segera ia buka pintu. Tampangnya melongo kaget. Ia tak percaya melihat siapa yang berada dalam kamarku. Namira yang tengah berbaring langsung terhenyak bangun. Cepat Kris menutup pintu itu kembali.
            “Bajingan!” umpatnya padaku.
            Aku mendesis dengan menempelkan telunjuk diatas bibirku. Dengan suara lebih rendah Kris bilang, “Pintar sekarang. Mentang-mentang nggak ada Ibu kost kamu bawa perempuan kemari.”
            “Jangan pikir macam-macam,” bisikku menyanggah. “Ini hanya kebetulan.”
            “Kebetulan ini malam tahun baru dan kebetulan juga Ibu kost lagi ke Bogor”.
            “Baik,” aku coba tenangkan keadaan. “Kamu duduk dulu dan aku akan cerita.”
            Dari kejauhan suara musik kemeriahan tahun baru pelan-pelan lenyap. Aku mendengar suara derap langkah di luar dan sayup bunyi orang mengobrol baru pulang dari pesta tahun baru. Sisa dini hari itu aku habiskan menceritakan kembali pengalaman bodohku itu. Kris tertawa-tawa. Ia baru sadar lelaki yang jatuh masuk ke dalam kolam tadi adalah aku.
            “Terus sudah berbuat apa saja dengan perempuan itu?” godanya makin jahil.
            “Aku lelaki baik-baik, tahu!”
            “Aku percaya,” ia cengengesan menertawaiku. “Lelaki impoten mana mungkin berani jantan pada seorang perempuan.”
            “Sialan,” aku dorong ia hingga jatuh tersungkur ke belakang.
        Sekitar jam sembilan pagi aku mengantarkan Namira pulang. Sebelum Ibu kost pulang, semuanya harus beres. Membawa teman laki-laki menginap paling-paling kena denda alias tambahan uang kost. Tapi kalau itu perempuan bisa-bisa aku kena hardik dan usir.
            Menuju pintu depan, kami berjalan mengendap dan waspada takut-takut Ibu kost sudah pulang. Beruntung semuanya aman terkendali. Di depan Plaza Indonesia kami berpisah. Tapi aku lupa meminta alamat dan nomor telepon gadis penolongku itu.

Bagian lainnya dibaca di sini; Sebelumnya